Rabu, 09 November 2011

Putusan Bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Daerah..Kenapa Tidak???

Akhirnya setalah sepertigapuluhdua tahun, saya bisa nulis lagi...

Well.. saya sekarang lagi ikut diklat survei dan pemetaan nih.. Ada yang tahu jenis diklat ini gak?? Sedikit informasi tambahan buat teman-teman semua. Diklat Survei dan Pemetaan adalah salah satu diklat yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional which is the government istitution that i am in there right now. Apa saja yang dipelajari?? Disini kawan-kawan akan mempelajari semua hal yang berhubungan dengan survei dan pemetaan seperti Pelatihan GPS, ARCGIS, dan sebagainya. Karena saya "nol putul" dengan dunia ini, kantor menempatkan saya di program Diklat Survei dan Pemetaan Tingkat Dasar ato bahasa kerennya : "Survei dan Pemetaan for dummy."

TKP Diklat Survei dan Pemetaan
Oke..cukup dengan intronya..
Ada sedikit hal yang mengganjal buat saya saat melihat beberapa berita yang berseliweran beberapa minggu ini. Salah satunya..yup, isu pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah karena seringnya mengeluarkan putusan yang membebaskan terdakwa kasus korupsi. 

Sebelumnya, pengadilan tipikor daerah baru-baru ini telah membebaskan 29 terdakwa korupsi. Rinciannya, Pengadilan Tipikor Bandung telah membebaskan tiga terdakwa korupsi; Walikota Bekasi, Bupati Subang, dan Wakil Walikota Bogor. Lalu, Pengadilan Tipikor Surabaya telah membebaskan sembilan terdakwa sedangkan Pengadilan Semarang satu terdakwa.

Pengadilan Tipikor Tanjung Karang membebaskan dua terdakwa; Bupati Lampung Timur Satono dan mantan Bupati Lampung Tengah Andi Ahmad Sampurna. Terakhir, Pengadilan Tipikor Samarinda telah membebaskan 14 dari 15 terdakwa korupsi dana operasional DPRD Kutai Kartanegara pada 2005 senilai Rp2,6 miliar.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW), Pengadilan Tipikor Daerah setidaknya sudah membebaskan 40 terdakwa kasus korupsi. Tipikor Surabaya membebaskan 21 terdakwa, Tipikor Samarinda 14 terdakwa, Tipikor Bandung empat terdakwa, dan Tipikor Semarang satu terdakwa.

Sidang Korupsi

Saya merasa harus memberikan sedikit opini di tema ini, dari sudut pandang saya tentunya. Pertanyaan yang dari dulu selalu muncul dalam benak saya adalah "Apa iya setiap terdakwa kasus korupsi otomatis harus jadi terpidana kasus korupsi?" Mengapa saya bertanya seperti ini. Semua ini muncul karena banyaknya kecaman yang muncul kepada pengadilan tindak pidana korupsi saat hakim di pengadilan tersebut memutuskan bebas terdakwa kasus korupsi. 

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah adalah amanah dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tujuannya pun sangat baik yaitu membantu proses pemberantasan korupsi di masing-masing daerah. Banyaknya putusan bebas terhadap kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Daerah tidak otomatis membuktikan bahwa sistem pengadilan tersebut bobrok. Banyak faktor yang harus dicermati. Beberapa diantaranya adalah bagaimana penuntut umum membuat tuntutannya, kemampuan hakim dalam mencermati fakta dan bukti yang ada di dalam persidangan, dan, yah, indikasi mafia hukum yang bermain disana. 

Rasanya tidak adil apabila hakim menjadi satu-satunya pihak yang harus disalahkan dalam banyaknya terdakwa yang bebas. Memang hakim yang memutus suatu perkara, namun harus juga diketahui bahwa ada penuntut umum dan penasehat hukum yang turut "membantu" hakim untuk membuat suatu putusan. Dua pihak inilah yang menyediakan fakta dan bukti yang mendukung argumentasi mereka. Tugas hakim adalah mengadu argumentasi mereka berdasarkan fakta dan bukti yang terdapat di persidangan. Nah, salah satu alasan munculnya putusan bebas ini adalah penuntut umum, menurut pandangan hakim, tidak dapat membuktikan, secara meyakinkan, kepada hakim bahwa terdakwa tersebut bersalah melakukan suatu tindak pidana termasuk korupsi. Sedangkan penasehat hukum dapat meyakinkan hakim, dengan fakta dan bukti, bahwa terdakwa memang tidak bersalah. Terlepas dari adanya mafia hukum, kesimpulan dari "adu ilmu" antara penuntut umum dan penasehat hukum inilah yang mendasari hakim membuat suatu putusannya.


Hakim, dalam memutus suatu perkara, selalu melihat fakta dan bukti yang ada di suatu persidangan. Bukan dari media cetak maupun media elektronik. Apabila fakta dan bukti yang dibeber di pengadilan tidak memberi kesimpulan secara meyakinkan bahwa terdakwa bersalah maka hakim wajib membebaskan terdakwa tersebut. Dan ini juga berlaku di tindak pidana korupsi. Ada suatu kalimat bijak yang mungkin menjadi pedoman para hakim. Kalimat bijak tersebut adalah "lebih baik membebaskan 1 juta orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang benar".



Putusan bebas memang mengeliminir efek jera untuk suatu tindak pidana korupsi. Namun yang patut diperhatikan adalah kita juga harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Bagaimana kalo para terdakwa tersebut sebenarnya tidak bersalah tapi somehow karena beberapa hal, mereka menjadi kambing hitam? Sepertinya kita juga harus berpikir dari sisi itu juga. 

Penghapusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah bukanlah suatu tindakan bijak untuk mengatasi hal tersebut. Itu sama saja menebas semangat pemberantasan korupsi. Perbaiki celah dalam sistem yang ada, tingkatkan SDMnya, perketat pengawasan, dan libatkan publik dalam meng"eksaminasi" putusan hakim. Sederhananya "bukan pengadilannya yang dihilangkan..tapi oknumnyalah yang diberangus"

Tulisan ini jangan dianggap membela koruptor dan membenarkan putusan bebas tersebut. Saya sepakat korupsi memang harus diberantas..namun jangan sampai semangat penindakan korupsi ini menjadi seperti penindakan kasus PKI. Semangat yang membabi buta tanpa melihat bukti dan fakta yang ada....






Ah ya..saya tetap menerima saran, kritik, atau diskusi dari tulisan ini melalui Comment Box...

1 komentar:

  1. "UII_Official berkata...
    informasi yang menarik..:) terima kasih"

    Terima kasih. Mohon masukannya yaa..

    BalasHapus