Senin, 15 Januari 2018

KETILANG

Pernah nggak kalian ngelamun saat nyetir motor atau mobil??

Momen of silence dimana pas nyetir, pada suatu titik kalian baru sadar, "lho, kok sudah sampai sini ya??" atau "lho, kok udah sampai rumah ya??"

Pernah??

Nah, saya tergolong orang yang cukup sering pernah ngalamin ngelamun sambil nyetir. Meski berbahaya, Alhamdulillah belum sampai mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. 

Hingga suatu ketika..

tanggal 10 Januari 2018 pukul 08.00 WIB, menjadi nyatalah ekses negatif dari ngelamun pas nyetir. Jiwa yang gak konek dengan raga ala film Insidious pas nyetir motor membuat tanpa sadar motor tetap melaju ke jalur cepat meski beberapa kali melewati belokan untuk masuk jalur lambat. Konsisten di jalur cepat. Konsisten yang menjebak. 

Karena jalur cepat hanya dikhususkan untuk kaum beroda empat atau lebih, maka jelas melajunya kendaraan beroda dua di jalur tersebut adalah suatu bentuk penghinaan dan harus segera dilakukan pemusnahan. 

Jadilah saya diberhentikan polisi. Nah karena posisi masih ngelamun, pas diberhentikan pun masih dalam kondisi yang "selow, ini fana..fatamorgana."

Tibalah sang polwan yang manis bertanya. "Bapak tahu kesalahan bapak??"

Jedeeerrrr..

*Heh..Bapak...kamu manggil saya bapak?? Setua itukah tampang saya untuk dipanggil bapak??*

Dan sadarlah saya dari lamunan panjang saya. Jawaban spontan yang keluar dari mulut saya pun hanya "anu mbak..tadi saya nganu..gak liat anu..jadi anu saya anu."

Mbak polwan tersenyum... Manis sekali.

Lalu ala-ala Dewi Kwan Im, sembari tersenyum, dia pun berkata "wahai ki sanak, sadarkah dirimu jika dirimu melaju di jalur cepat?"

saya: "anu mbak"

mbak polwan: "..."

saya: "..."

mata kita pun saling bertemu. kita hanya bisa terdiam di tengah-tengah motor-motor lain yang sedang diperiksa oleh polisi yang lain. Seluruh dunia seolah-olah hanya terpusat ke kami. Pengendara dan polisi lain cuma ngontrak.

Tiba-tiba.

Keluarlah satu lembar kertas warna biru. Sempat senang karena kayaknya bakal dikasih Rp50.000,00 terus mbak polwannya bilang "kena dehh...!!!" (referensi joke-nya so old)

Tapi ternyata, itu semua khayalan belaka. 

BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS JALAN TERTENTU

Terbaca dengan jelas di lembar biru tersebut.

Fix. Kena tilang.

"Bapak..", ujar polwan.

"Mas..panggil saya mas aja mbak." balas saya.

"Bapak..."

*telinga polwannya minta dicolok nih*

"Bapak, saya tilang karena masuk jalur cepat. STNK saya tahan sebagai bukti. Nanti diambil sebulan lagi di Kejaksaan."

"Tapi mbak.."

"Diam alfonso" 

Dialog yang terakhir hasil pengembangan lamunan ya gaes.

Argumentasi cepat tapi kuat dan logis harus saya siapkan agar STNK saya gak ditahan.

"Mbak, plis. jangan STNK saya yang ditahan...cukup hat...ehm.. maksud saya SIM saja yang ditahan. Saya nggak bisa tidur mbak kalo gak ada STNK saya. Saya sama STNK sudah satu kesatuan."

"..."

"Maksud saya, saya nggak bisa parkir kalo STNKnya mbak tahan."

"Baik pak. Saya tahan SIM-nya ya"

"Iya mbak"

"Iya pak"

"Mbak.."

"Bapak.."

Kami pun kembali terdiam.

"Oh ya mbak, saya takut kelupaan kalo ngambil SIM-nya sebulanan. Bisa tidak jika saya ngambilnya dipercepat?? Besok misalnya." ujar saya memecah keheningan diantara kami berdua.

"Oh bisa pak. Nanti akan ada kode pembayaran tilang yang akan dikirimkan ke nomor handphone bapak. Bapak bayar ke Bank BRI atau ATM BRI terdekat make kode itu. Trus bukti pembayarannya disimpan. Lalu Bapak bawa surat tilang serta bukti pembayaran tilangnya ke Polres Bogor untuk mengambil SIM bapak."

"Ketemu sama siapa mbak?"

"Ketemu sama saya"

"Mbak??"

"Iya pak. Saya. Oh ya pak, saya bisa minta nomor handphone bapak?"

"Mbak, maaf, saya sudah beristri. Lebih baik hubungan kita cukup penilang dan tertilang. Tidak lebih dari ini."

"Maksud bapak?" kembali tersenyum manis.
"Oh bukan pak, saya tadi kelupaan menuliskan nomor handphone bapak. Kan kode pembayarannya nanti akan di-sms ke nomor bapak."

*Sial*

"Oh ini mbak." Dan tersebutlah nomor handphone saya. Dengan jarinya yang manis (bukan jaris manisnya yaa. Bakal heboh kalo dia nulisnya cuma make jari manis) dia pun menulis nomor handphone di kertas biru tersebut.

"Silahkan bapak. Lain kali hati-hati jika berkendara. Perhatikan rambu lalu lintas dan jangan suka ngelamun" ujar polwan tersebut. Berwibawa tanpa menanggalkan kemanisannya.

"Terima kasih mbak."

"Hati-hati pak."

"Mbak.."

"Pak.."

Dan kami pun lambat laun semakin jauh. Tak terasa air mata menetes dari pinggiran mata.

...

...

...

"Jancok. Ketilang cookk"


Senin, 01 Januari 2018

EUFORIA 15.056 PULAU YANG MENGANCAM

KEBANGGAAN

Indonesia mendapatkan kado indah pada ulang tahunnya yang ketujuh puluh dua. Pada pertemuan United Nations Conferences of the Standardization of Geographical Names (UCSGN) dan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN), yang merupakan salah satu agenda rutin dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia berhasil mendaftarkan 2.590 pulau baru untuk masuk dalam daftar nama geografi dunia yang dimiliki oleh PBB. Dengan adanya tambahan pulau tersebut, Indonesia tercatat dan diakui secara internasional memiliki 16.056 pulau yang telah bernama dan berkoordinat di wilayahnya. Pada tahun 2012 sendiri, jumlah pulau yang didaftarkan oleh Indonesia pada forum yang sama adalah sebanyak 13.466 pulau. Sebagai informasi tambahan, dengan jumlah pulau sebanyak itu, Indonesia menempati posisi kedua dalam daftar negara dengan jumlah pulau paling banyak di dunia. Posisi pertama negara dengan jumlah pulau terbanyak masih dipegang oleh Finlandia dengan jumlah pulau yaitu kurang lebih 179.584 pulau.

Penambahan jumlah pulau yang telah bernama dan berkoordinat ini sendiri merupakan hasil kerja keras dari Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang beranggotakan Menteri Dalam Negeri sebagai ketua tim dan Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pendidikan, dan Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (yang telah diganti oleh Badan Informasi Geospasial) sebagai anggota serta peran aktif dari masing-masing pemerintah daerah. Tim Nasional ini sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.

Terkait eksistensi Tim Nasional itu sendiri, pada tahun 2016 lalu, melalui Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2016 tentang Pembubaran Badan Benih Nasional, Badan Pengendalian Bimbingan Massal, Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan, Komite Pengarah Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, Dewan Kelautan Indonesia, Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, dan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis, tim nasional ini dibubarkan. Berdasarkan peraturan presiden tersebut, tugas Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang telah dibubarkan akan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang geospasial. Berdasarkan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 127 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial, lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi urusan geospasial adalah Badan Informasi Geospasial. Sehingga berdasarkan hal tersebut, Badan Informasi Geospasial diberi amanah tambahan untuk menjalankan tugas dan fungsi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Artinya kini tugas penamaan rupabumi di Indonesia menjadi tanggung jawab dari Badan Informasi Geospasial.

Kita seharusnya patut berbangga dan bersyukur tinggal di negara dengan karakteristik bentang alam yang sangat unik seperti Indonesia ini. Sebuah negara kepulauan dengan kondisi alam yang luar biasa dan sumber daya alam yang melimpah ruah. Selain menjadi anugerah, keunikan ini juga menjadi tantangan luar biasa tersendiri bagi Indonesia untuk mengelolanya.


ANCAMAN MELALUI PENGELOLAAN PULAU

Dengan jumlah 16.056 pulau dan ada kemungkinan untuk bertambah di kemudian hari, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pun menjadi semakin besar. Salah satunya terkait dengan pengelolaannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia masih belum mempunyai sistem manajemen pengelolaan pulau yang sempurna. Salah satu contohnya adalah adanya irisan substansi dalam peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan pulau seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang berpotensi menimbulkan permasalahan dalam tataran implementasi. Salah satu efek samping adanya irisan substansi diantara dua Undang-Undang tersebut adalah potensi disharmonisasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (yang didalamnya termasuk laut) dan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Selain irisan substansi peraturan perundang-undangan, pengelolaan pulau sering kali terhambat dikarenakan sumirnya batas wilayah administrasi. Ketidakjelasan batas wilayah di dalam undang-undang pembentukan sebuah daerah administrasi baru dikombinasikan dengan tiadanya lampiran peta wilayah yang sesuai kaidah perpetaan yang benar menimbulkan permasalahan dalam hal penegasan batas dan kejelasan siapa yang berwenang mengelolanya. Sengketa Pulau Galang antara Pemerintah Kabupaten Gresik dan Pemerintah Kota Surabaya, Konflik antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Provinsi Banten, rebutan Pulau Berhala antara Provinsi Jambi dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan sengketa Pulau Lari-Larian antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan Pemerintah Kota Banjarmasin adalah beberapa contoh “perang saudara” akibat sumirnya batas wilayah. Belum lagi peran Gubernur dan Menteri Dalam Negeri yang cenderung ke arah mediator ketimbang hakim pemutus yang menjadikan proses penegasan batas wilayah menjadi berlarut-larut. Akibatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah terutama di wilayah yang berbatasan dengan daerah lain cenderung gamang atau akan sangat berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Keberanian kepala daerah atau Menteri Dalam Negeri untuk menjadi “hakim” tentu sangat ditunggu untuk mengentaskan permasalahan batas yang berlarut-larut. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah sudah bisa menjadi dasar kuat bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri untuk mempercepat penyelesaian permasalahan batas daerah yang tak kunjung usai.

Tantangan lain dalam pengelolaan pulau adalah belum harmonisnya lembaga pemerintah pengelola pulau. Dari hasil penelitian pada tahun 2015 oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tercatat ada 14 sektor pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan pulau baik secara langsung maupun tidak langsung. Keempat belas sektor tersebut antara lain pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan, keuangan, bahkan pemerintahan daerah. Dari sini saja dapat dilihat bahwa cukup banyak kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan pemerintah daerah yang terlibat dalam pengelolaan pulau. Dan untuk menambah rumit lagi, terdapat 21 undang-undang yang mengatur terkait pengelolaan pulau baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa diantaranya telah disebutkan di atas. Belum lagi ditambah peraturan perundang-undangan pelaksana dari 21 undang-undang tersebut.

Banyaknya sektor yang terkait tentu berpotensi munculnya konflik kepentingan dan kewenangan antar-pemangku kepentingan. Disinilah peran reharmonisasi dan deregulasi peraturan perundang-undangan sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo mengambil peran penting untuk menyelesaikan hal ini. Tingginya ego sektoral menjadi salah satu kendala utama yang harus dihadapi agar permasalahan ini bisa dituntaskan.


BAHAYA EUFORIA SESAAT

Menyandang sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak kedua di dunia tentu menjadi kebanggaan bagi negara ini. Sayang sekali kebanggaan seperti ini sering kali membuat kita lupa daratan. Euforia sesaat.  Bereaksi berlebihan ketika ada kasus lalu lupa mencari solusi agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan cukuplah menjadi pengalaman buruk bagi negara ini. Sebuah pengalaman buruk akibat ketidakmampuan kita termasuk pemerintah dalam mengelola pulau-pulaunya.

Jumlah pulau Indonesia yang mencapai angka enam belas ribu seharusnya juga menjadi alarm pengingat sekaligus pemacu bagi pemerintah untuk segera mencari solusi cerdas dalam mengelola pulau-pulaunya dengan baik sehingga pengalaman lepasnya Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi.