Rabu, 12 Oktober 2016

BELAJAR HUKUM: SEMUA SAMA DI MATA HUKUM

Baru-baru ini, ramai pake bingits di linimasa, berita tentang seorang pejabat tinggi madya di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM menggugat ke pengadilan seorang pengusaha laundry kiloan karena jas dan batiknya yang “rusak’ setelah dicuci di laundry kiloan tersebut. Trus gugatannya diunggah, digoreng media cetak maupun online, dan whaaallaa...jadilah seperti ini..
Tulisan ini tidak akan membahas siapa yang benar dan siapa yang salah. Tulisan ini akan membahas tentang hak menggugat seorang pejabat. Pasca berita tentang pejabat menggugat pengusaha kiloan ini viral, banyak hujatan dan komentar negatif yang muncul oleh netizen dan masyarakat. Tentu ini ditujukan kepada pejabat tersebut.


Setelah dibaca, rerata komentar masyarakat adalah pejabat tersebut arogan, jahat, dsb karena menggugat rakyat kecil. Ada anggapan masyarakat kalo seorang manusia yang kebetulan menjadi pejabat dianggap arogan kalo menggugat masyarakat yang-selalu-dianggap-kecil-dan-lemah. In My Humble Opinion, ini sesat banget. 

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, maka seluruh tindakan harus berlandaskan, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam BAB XA Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”. 

Dari pasal-pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa tidak ada pembedaan manusia di mata hukum. Iyalah..liat deh frasenya. “SETIAP ORANG” bla..bla..bla.. Dalam RBG/HIR atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, tidak disebutkan pembatasan dalam klasifikasi latar belakang penggugat. Artinya semua orang bisa menggugat di pengadilan. Mau dari latar belakang pengusaha, tukang bakso, bahkan presiden, semua sama di mata hukum. Tidak ada pembedaan.

Baca juga: Angkatan Geser

Jadi tindakan yang dilakukan sama pejabat ini sebenarnya sah-sah saja. Tidak ada yang salah. Masih ingat ketika SBY ketika menjabat sebagai presiden melaporkan dugaan “hate speech” ke polisi? Atau banyaknya kasus seorang istri yang menggugat cerai suaminya? Kira-kira samalah seperti itu.

Mengenai besaran gugatan ganti rugi?? nah ini yang harus diluruskan. Besaran gugatan ganti rugi secara hukum diserahkan ke penggugatnya. Biasanya ada dua tipe gugatan ganti rugi. Ganti rugi materiil yang lebih ke arah kerugian yang dialami langsung oleh penggugatnya. Yang kedua adalah ganti rugi immateriil yang hitungan besarannya dihitung berdasarkan kerugian tidak langsung atau akan terjadi. Makanya rerata gugatan ganti rugi immateriil ini besarannya bisa gak karu-karuan. Faktanya, seringkali hakim dalam memutus besaran ganti rugi, hanya memperhatikan gugatan materiilnya.

Lalu mengapa netizen menghujat tindakan pejabat ini??

Ada beberapa hal yang menyebabkan publik beropini sedemikian negatifnya. Yang pertama adalah latar belakang praktik hukum yang seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena merasa senasib sepenanggungan, ya muncullah “jiwa korsa” ini. Meskipun ini juga tidak bisa dijadikan pembenaran. 

Yang kedua adalah faktor media. Prinsip bad news is a good news benar-benar digunakan oleh media saat ini tanpa memperhatikan prinsip cover both side. Belum lagi judul berita yang dibuat sangat bombastis padahal isi beritanya bahkan tidak sebombastis judulnya. Terutama media online nih. Judul berita kok kayak Koran Lampu Merah. 

Yang ketiga adalah kebiasaan kita semua membaca dan men-share berita HANYA dengan membaca judulnya tanpa melihat substansi atau melakukan “kerennya” tabayyun dulu. Belum lagi ditambah dengan komentar-komentar yang justru memprovokasi dan memperpanas situasi. Iya kalo beritanya benar, kalo beritanya salah kan kasihan yang jadi korban. Kita juga turut serta melakukan fitnah, bullying, bahkan pembunuhan karakter. Ini kejam.  Sayangnya kita seringkali tidak merasa seperti itu.


Yah, moral story dalam tulisan kali ini adalah di mata hukum, SETIAP ORANG memiliki kedudukan yang sama. Yang kedua, waspadalah kalo nge-share berita yang belum ketahuan benar atau tidaknya. Crosscheck atau tabayyun dulu..

Okelah..

See yaa di tulisan selanjutnya...

2 komentar:

  1. Ketika Pejabat di Kementerian Hukum, dilarang melakukan tuntutan hukum, padahal ini negara hukum, dan harusnya memang memberikan contoh bahwasanya diselesaikan secara hukum kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyess... ini sama kayak motor kita ditabrak angkot trus kita gak boleh nuntut ganti rugi karena dianggap kita "lebih" dari mereka??

      Kan gak fair.. Biar fair, selesaikanlah secara hukum..

      Hapus