Baru-baru
ini, ramai pake bingits di linimasa, berita tentang seorang pejabat tinggi
madya di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM menggugat ke pengadilan seorang
pengusaha laundry kiloan karena jas dan batiknya yang “rusak’ setelah dicuci di
laundry kiloan tersebut. Trus gugatannya diunggah, digoreng media cetak maupun
online, dan whaaallaa...jadilah seperti ini..
Tulisan
ini tidak akan membahas siapa yang benar dan siapa yang salah. Tulisan ini akan
membahas tentang hak menggugat seorang pejabat. Pasca berita tentang pejabat
menggugat pengusaha kiloan ini viral, banyak hujatan dan komentar negatif yang
muncul oleh netizen dan masyarakat. Tentu ini ditujukan kepada pejabat
tersebut.
Lalu
apa yang salah??
Baca juga: Dimanakah posisi Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan??
Baca juga: Dimanakah posisi Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan??
Setelah
dibaca, rerata komentar masyarakat adalah pejabat tersebut arogan, jahat, dsb karena menggugat rakyat kecil. Ada
anggapan masyarakat kalo seorang manusia yang kebetulan menjadi pejabat
dianggap arogan kalo menggugat masyarakat yang-selalu-dianggap-kecil-dan-lemah.
In My Humble Opinion, ini sesat banget.
Sesuai
dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum, maka seluruh tindakan harus berlandaskan, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan
secara hukum. Dalam BAB XA Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa “setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”.
Dari pasal-pasal tersebut menyebutkan secara
jelas bahwa tidak ada pembedaan manusia di mata hukum. Iyalah..liat deh frasenya. “SETIAP
ORANG” bla..bla..bla.. Dalam RBG/HIR atau biasa disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata, tidak disebutkan pembatasan dalam klasifikasi latar
belakang penggugat. Artinya semua orang bisa menggugat di pengadilan. Mau dari latar belakang
pengusaha, tukang bakso, bahkan presiden, semua sama di mata hukum. Tidak ada
pembedaan.
Baca juga: Angkatan Geser
Jadi tindakan yang dilakukan sama pejabat ini sebenarnya sah-sah saja. Tidak ada yang salah. Masih ingat ketika SBY ketika menjabat sebagai presiden melaporkan dugaan “hate speech” ke polisi? Atau banyaknya kasus seorang istri yang menggugat cerai suaminya? Kira-kira samalah seperti itu.
Mengenai besaran gugatan ganti rugi?? nah ini yang harus diluruskan. Besaran gugatan ganti rugi secara hukum diserahkan ke penggugatnya. Biasanya ada dua tipe gugatan ganti rugi. Ganti rugi materiil yang lebih ke arah kerugian yang dialami langsung oleh penggugatnya. Yang kedua adalah ganti rugi immateriil yang hitungan besarannya dihitung berdasarkan kerugian tidak langsung atau akan terjadi. Makanya rerata gugatan ganti rugi immateriil ini besarannya bisa gak karu-karuan. Faktanya, seringkali hakim dalam memutus besaran ganti rugi, hanya memperhatikan gugatan materiilnya.
Lalu
mengapa netizen menghujat tindakan pejabat ini??
Ada
beberapa hal yang menyebabkan publik beropini sedemikian negatifnya. Yang
pertama adalah latar belakang praktik hukum yang seringkali tajam ke bawah dan
tumpul ke atas. Karena merasa senasib sepenanggungan, ya muncullah “jiwa korsa”
ini. Meskipun ini juga tidak bisa dijadikan pembenaran.
Yang kedua adalah faktor media. Prinsip bad news is a good news
benar-benar digunakan oleh media saat ini tanpa memperhatikan prinsip cover
both side. Belum lagi judul berita yang dibuat sangat bombastis padahal isi
beritanya bahkan tidak sebombastis judulnya. Terutama media online nih. Judul
berita kok kayak Koran Lampu Merah.
Yang ketiga adalah kebiasaan kita
semua membaca dan men-share berita HANYA dengan membaca judulnya tanpa melihat
substansi atau melakukan “kerennya” tabayyun dulu. Belum lagi ditambah
dengan komentar-komentar yang justru memprovokasi dan memperpanas situasi. Iya kalo
beritanya benar, kalo beritanya salah kan kasihan yang jadi korban. Kita juga
turut serta melakukan fitnah, bullying, bahkan pembunuhan karakter. Ini kejam. Sayangnya kita seringkali tidak merasa seperti
itu.
Yah, moral story dalam tulisan kali ini adalah di mata hukum, SETIAP ORANG memiliki kedudukan yang sama. Yang kedua, waspadalah kalo nge-share berita yang belum ketahuan benar atau tidaknya. Crosscheck atau tabayyun dulu..
Okelah..
See yaa di tulisan selanjutnya...
Ketika Pejabat di Kementerian Hukum, dilarang melakukan tuntutan hukum, padahal ini negara hukum, dan harusnya memang memberikan contoh bahwasanya diselesaikan secara hukum kan?
BalasHapusiyess... ini sama kayak motor kita ditabrak angkot trus kita gak boleh nuntut ganti rugi karena dianggap kita "lebih" dari mereka??
HapusKan gak fair.. Biar fair, selesaikanlah secara hukum..