Pasca mengeluarkan putusan untuk perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan nomor putusan 46/PUU-XIV/2016 pada tanggal 14 Desember 2017 lalu, muncul tudingan bahwa Mahkamah Konstitusi melegalkan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) serta perbuatan kumpul kebo di Indonesia. Ini tidak lain dikarenakan Mahkamah Konsitusi membuat putusan menolak permohonan untuk keseluruhan dalam perkara permohonan uji materiil tersebut.
Putusan ini sendiri dibuat sebagai hasil permohonan pengujian Pasal 284 ayat (1) angka 1a, angka 1b, angka 2a, angka 2b; Pasal 284 ayat (2) sampai dengan ayat (5); Pasal 285; dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidanan atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pemohon pengujian materiil menyatakan bahwa pasal-pasal dalam KUHP tersebut bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1), Pasal 28D ayat (1). Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
MAHKAMAH KONSITUSI SEBAGAI NEGATIVE LEGISLATURE
Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga peradilan amanah UUD 1945 yang salah satu tugas utamanya adalah menjadi the guardian and the highest intrepreter of the constitution. Lembaga inilah yang diberi kewenangan oleh konstitusi negara ini untuk menguji materi Undang-Undang terhadap UUD 1945 berikut juga menafsirkan materi dalam Undang-Undang Dasar tersebut. Secara spesifik, kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri tercantum di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Dalam pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik; dan
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan ini dapat dilihat di dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Dari uraian kewenangan di atas dapat dilihat bahwa Mahakamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam konteks peraturan perundang-undangan, posisi Mahkamah Konstitusi berada sebagai negative legislature alias penghapus norma. Sedangkan pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Presiden berperan sebagai positive legislature alias pembuat norma. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislature sendiri tercermin dari limitasi jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang terdiri atas tiga jenis putusan yaitu tidak dapat diterima, dikabulkan, dan ditolak. Pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang semi-positive legislature melalui putusan konstitusiopnal bersyarat dan inkonstitusinal bersyarat, Dua jenis putusan ini mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional. Artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional. Meski demikian, sevcara prinsip, dalam konteks peraturan perundang-undangan, Mahkamah Konstitusi tetap dibatasi kewenangannya yaitu hanya sebagai penghapus norma. Bukan sebagai pencipta norma.
TIDAK MUTAKHIR TIDAK SAMA DENGAN TIDAK KONSTITUSIONAL
Dalam perkara ini, pemohon mengajukan permohonan berupa:
- Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “laki-laki berbuat zina”;
- Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf b KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “seorang perempuan berbuat zina”;
- Pasal 284 ayat (1) angka 2e. huruf a KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu”;
- Pasal 284 ayat (1) angka 2e. huruf b KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “perempuan yang turut melakukan perbuatan itu”;
- Pasal 284 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHP bertentangan dengan UUD 1945;
- Pasal 285 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Barang siapa yang dengan kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”;
- Pasal 292 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”.
Dari permohonan tersebut dapat dilihat bahwa pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk membuat norma baru dalam pasal-pasal tersebut. Mari ambil contoh melalui permohonan uji materiil Pasal 292 KUHP. Pemohon mengajukan permohonan untuk memaknai Pasal 292 KUHP sehingga berbunyi: “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun“. Sangat berbeda jauh dengan bunyi pasal 292 KUHP yang berbunyi “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum selama-lamanya lima tahun”. Perluasan cakupan dari “orang dewasa” menjadi “orang-orang” tanpa limitasi membuat cakupan pasal ini menjadi sangat luas. Perluasan lingkup pasal ini tentu akan menimbulkan akibat hukum yang sangat besar. Salah satunya adalah setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik sudah dewasa maupun masih anak-anak, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, baik orang lain itu sudah dewasa maupun masih anak-anak akan dipidana.
Dari contoh di atas saja dapat terlihat adanya suatu kualifikasi tindak pidana yang baru. Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislature tentu tidak mempunyai kewenangan untuk membuat norma baru. Perluasan makna yang sering dicerminkan melalui putusan kontitusional dan inkonstitusional bersyarat juga dilaksanakan secara terbatas dan dalam kondisi persyaratan tertentu. Tidak sampai menciptakan norma baru khususnya dalam konteks kriminalisasi mapun dekrimininalisasi.
Politik pemidanaan dalam struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan hasil kesepakatan rakyat dan pemerintah. Maka tidak heran jika dicermati lebih lanjut, ketentuan pidana hanya dapat diatur melalui Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Dua jenis peraturan perundang-undangan inilah yang dibentuk berdasarkan kesepakatan rakyat melalui DPR atau DPRD dengan pemerintah melalui Presiden atau kepala daerah. Karena sesuai dengan Pasal 28J UUD 1945, pembatasan dalam menjalanakan hak dan kewajiban hanya bisa ditetapkan oleh Undang-Undang. Sedangkan apabila dicermati permohonan uji materiil ini lebih ke arah menciptakan norma hukum baru yang notabene menjadi tugas pembentuk undang-undang sebagai positive legislature. Dalam dalilnya pemohon menyampaikan bahwa pasal-pasal yang dimohon uji materiil ini kurang luas kualifikasi pidananya untuk mengantisipasi perkembangan situasi yang ada di masyarakat. Namun ketidaklengkapan atau tidakluasnya suatu pengaturan tentu tidak selalu berarti pelanggaran terhadap konstitusi.
DITOLAK BUKAN BERARTI MELEGALKAN
Dalam permohonan pengujian ini, Mahkamah Konstitusi dengan bijak telah menempatkan dirinya dalam posisi yang tepat. Permohonan yang diajukan dalam pengujiaan materiil tersebut adalah permohonan untuk merubah makna termasuk juga memperluas cakupan dari pasal-pasal yang diuji karena pengaturan yang ada masih belum mencukupi kebutuhan hukum yang ada di lapangan. Ini tentu bertentangan dengan salah satu tugas Mahkamah Konstitusi yang hanya menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menciptakan norma pidana baru karena norma pemidanaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hanya dapat ditetapkan melalui kesepakatan antara perwakilan rakyat dengan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Daerah.
Bunyi putusan Mahkamah Konstitusi berupa penolakan dalam perkara ini bukan berarti Mahkamah Konstitusi mendukung legalisasi LGBT atau kumpul kebo. Mahkamah Konstitusi hanya menempatkan dirinya dalam posisi yang tepat yaitu sebagai the guardian of constitution. Meski putusannya berupa penolakan, Mahkamah Konstitusi, secara tertulis dalam putusannya, tetap memberikan apresiasi adanya permohonan uji materiil tersebut dan menyarankan untuk menyampaikannya pada saluran yang telah tersedia yaitu legislative review oleh pembentuk undang-undang baik melalui DPR maupun pemerintah.