Minggu, 13 Januari 2013

Seruan Bersama Anti Ngangkang: Corat-Coret Analisa

Weitss.. judulnya men...mantap pisaannn...

Beberapa hari belakangan ini, berita terkait di seruan bersama "anti ngangkang" di Lhoksumawe Aceh begitu banyak seliweran. Dan tanggapannya macem-macem. Dari yang kalem sampek yang berapi-api. Lebih anehnya lagi, sudah banyak yang salah kaprah dengan menyebutkan Seruan bersama itu dengan Perda (Peraturan Daerah). Ni buat orang-orang yang ngerti hukum pasti geleng-geleng kepala. Dan lagi-lagi medialah yang menjadi penyebab salah kaprah ini.

Masyarakat kita memang paling senang berkomentar tanpa tahu terlebih dahulu pokok permasalahannya.

Terlepas dari substansinya, saya ingin mencoba meluruskan masalah aturan ngangkang-mengangkang ini.

Yang pertama, Seruan Bersama itu bukan Perda atau kalo di Aceh disebut Qanun. itu jauhh banget bedanya.. Ini juga bukan peraturan walikota. Dalam hukum tata negara, Seruan Bersama bisa dikatakan lebih bersifat himbauan atau perintah kepada internal.

Yang kedua, Seruan Bersama itu adalah Seruan bersama Pemerintah Kota Lhoksumawe. Bukan Pemerintah Provinsi Aceh. Jadi jangan mikir Seruan Bersama ini berlaku di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh yaa..


Yang ketiga, apakah rekan-rekan yang berkomentar tersebut sudah membaca substansi seruan bersamanya?? Kalo belum, alangkah baiknya membaca dulu seruan bersamanya. Here we go.. 

 http://www.acehkita.com/wp-content/uploads/2013/01/Surat-Edaran.jpg




UNTUK MENEGAKKAN SYARI'AT ISLAM SECARA KAFFAH, MENJAGA NILAI-NILAI BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT MASYARAKAT ACEH DALAM PERGAULAN SEHARI-HARI, SERTA SEBAGAI WUJUD UPAYA PEMERINTAH KOTA LHOKSEUMAWE
MENCEGAH MAKSIAT SECARA TERBUKA, MAKA DENGAN INI PEMERINTAH MENGHIMBAU KEPADA SEMUA IVI{SYAIL{KAT DI WILAYAH KOTA LHOKSEUMAWE, AGAR:
  1. PEREMPUAN DEWASA YANG DIBONCENG DENGAN SEPEDA MOTOR OLEH LAKI-LAKI MUHRIM, BUKAN MUHRIM, SUAMI, MAUPUN SESAMA PEREMPUAN, AGAR TIDAK DUDUK SECARA MENGANGKANG (DUEK PHANG), KECUALI DALAM KONDISI TERPAKSA ATAU DARURAT;
  2. DI ATAS KENDARAAN BAIK SEPEDA MOTOR, MOBIL DAN/ATAU KENDARAAN LAINNYA, DILARANG BERSIKAP TIDAK SOPAN SEPERTI BERPELUKAN, BERPEGANG-PEGANGAN DAN/ATAU CARA-CARA LAIN YANG MELANGGAR SYARI'AT ISLAM, BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT MASYARAKAT ACEH;
  3. BAGI LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN AGAR TIDAK MELINTASI TEMPAT-TEMPAT UMUM DENGAN MEMAKAI BUSANA YANG TIDAK MENUTUP AURAT, BUSANA KETAT DAN HAL-HAL LAIN YANG MELANGGAR SYARIAT ISLAM DAN TATA KESOPANAN DALAM BERPAKAIAN;
  4. KEPADA SELURUH KEUCHIK, IMUM MUKIM, CAMAT, PIMPINAN INSTANSI PEMERINTAH ATAU LEMBAGA SWASTA, AGAR DAPAT MENYAMPAIKAN SERUAN INI KEPADA SELURUH BAWAHANNYA SERTA KEPADA SEMUA LAPISAN MASYARAKAT.
 DEMIKIAN HIMBAUAN INI KAMI SAMPAIKAN UNTUK DAPAT DILAKSANAKAN DENGAN PENUH KESADARAN DALAM UPAYA MENEGAKKAN SYARI'AT ISLAM.

IMHO sih, Substansi seruan bersama tersebut rupanya tidak "seseram" yang digembor-gemborkan. Tapi ya sudahlah.. Tulisan kali ini juga tidak akan membahas masalah substansinya.

Secara pribadi, saya juga sempat bermasalah dengan yang namanya jenis surat yang model-modelnya kayak seruan bersama gini, Waktu itu, saya bermasalah dengan s surat edaran. Yup, saya bisa menyelesaikan tesis saya hanya dalam waktu 1,5 bulan adalah gara-gara keluarnya Seruan bersama Dikti Nomor 152/E/T/2012 yang "menghimbau" kepada kampus-kampus di seluruh Indonesia untuk menambahkan syarat kelulusan mahasiswa yaitu tugas akhir (skripsi, tesis, dkk) yang dibuat oleh mahasiswa harus masuk dalam jurnal ilmiah terlebih dahulu. Intinya adalah, kalo tu tugas akhir mahasiswa gak masuk jurnal ilmiah, niscaya dia tidak akan lulus. Bayangkan betapa semakin ribetnya mahasiswa agar bisa lulus.

Nah, karena aturan tersebut berlaku untuk mahasiswa yang dinyatakan lulus setelah tanggal 31 Agustus 2012, mau gak mau bulan Juli 2012, saya harus lulus..Dan saya lulus lebih cepat dari target yaitu 8 Juni 2012 dengan tesis yang sangat memuaskan..yey...Yah, meski akhirnya tanggal berlakunya seruan bersama tersebut mundur, saya tetap bersyukur Dikti ngeluarin tuh seruan bersama..Kalo gak..mungkin detik ini, saya masih berstatus mahasiswa.


Malah curcol..

Eniwei, apabila kita melihat Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang terdapat di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
  1. UUD 1945
  2. Tap MPR
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undanag
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Provinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
 

Sebenarnya penjelasan terkait ini akan sangat panjang. Namun saya akan coba menyederhanakannya agar rekan-rekan dapat memahaminya.
Pada dasarnya, peraturan negara dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
  1. Peraturan Perundang-Undangan. Jenisnya dapat dilihat di Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di atas. 
  2. Peraturan Kebijakan. Pada dasarnya peraturan ini ditujukan untuk kalangan internal suatu instansi. Namun tidak dapat dipungkiri pelaksanaan peraturan kebijakan ini dapat secara tidak langsung berakibat ke masyarakat.
  3. Keputusan. Sifatnya konkret, final, dan individual. Contohnya adalah SIM, SIUP, Surat Kenaikan Pangkat, dll
Lalu dimana letak seruan bersama??
Umumnya, seruan bersama adalah suatu bentuk "surat perintah" dari pejabat tertentu kepada bawahannya. Jika dilihat, jenis peraturan seperti seruan bersama atau surat edaran, sifatnya sifatnya lebih ke arah menghimbau atau arahan kerja kepada internal suatu instansi temat dikeluarkan. Khusus untuk seruan bersama di Lhoksumawe adalah salah satu bentuk himbauan kepada seluruh masyarakat di  Lhoksumawe.
Lalu apakah seruan bersama adalah jenis peraturan perundang-undangan?
Seruan bersama tidak masuk dalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Secara tersurat, kita tidak akan menemukan istilah seruan bersama dalam Undang-Undang tersebut. Akibatnya, kekuatan mengikat secara hukum tidak sekuat dengan peraturan perundang-undangan. Ini bukan berarti tidak mengikat lho yaa... Selain itu karena tidak ada sanksi yang akan dikenakan apabila melanggar ketentuan tersebut memperkuat bahwa seruan bersama tidak tergolong suatu peraturan perundang-undangan.

 Seruan bersama adalah jenis peraturan kebijakan. Ini dibentuk karena adanya kewenangan bebas yang dimiliki empat pihak yang bertanda tangan di seruan bersama tersebut. Biasanya surat model seperti ini muncul karena beberapa kondisi, yang diantaranya adalah:
  • Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.
  • Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan.
  • Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  • Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Dalam proses penyusunannya, untuk menghindari peraturan kebijakan melampaui batas-batas kebebasan bertindak dan merusak tatanan hukum yang berlaku, sangat perlu untuk menemukan asas-asas yang dapat menjadi kendali bagi peraturan kebijakan tersebut. Asas-asas tersebut antara lain asas-asas negara berdasar hukum, asas-asas perlindungan terhadap masyarakat dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik atau AAUPB, 

Nah, salah satu saluran yang dapat digunakan masyarakat apabila tidak berkenan terhadap jenis surat kayak gini ini ada dua yaitu:
  1. Biarkan saja..Kalo mau ditaati silahkan, tidak ditaati pun tidak akan mendapat sanksi.
  2. Lakukan Uji Materiil di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung sudah pernah menguji Surat Edaran. Sudah ada yurisprudensinya.
Dalam hal kita ingin mengalukan uji materiil terhadap seruan bersama tersebut, karena ini btidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 4, yang digunakan adalah AAUPB atau Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Conto AAUPB diantaranya adalah 
  1. Asas Kepastian Hukum;
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 
  3. Asas  Kepentingan Umum; 
  4. Asas Keterbukaan; 
  5. Asas Proporsionalitas;
  6. Asas Profesionalitas; 
  7. Asas Akuntabilitas
Well.. Semoga sedikit tulisan ini dapat membantu rekan-rekan memahami ini semua sehingga kita lebih bijak dalam menentukan sikap.

Akhir kata..

"Yahh..begitulah cinta..deritanya tiada akhir.." -Kera Sakti-

Perbedaan Kewenangan "Plt" dan "Plh"

Hallooooo...


Oke..oke... 

first thing first.. kalo kalian baca tulisan ini terus lanjut baca komentarnya, maka akan ditemukan ke-tidaknyambung-an. 

Ya iya lah... lha wong tulisan ini sudah di-update biar tetap kekinian.

Well, tulisan saya yang saya buat dulu, menggunakan pakem dan aturan yang lama. Dan itu semua harus diubah setelah negara api menyerang lahir Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Iyaaa...maaf..tulisan ini di-update-nya baru sekarang...

Nah, kenapa baru sekarang bar?? Soalnya baru sempet nulisnya sekarang. Itupun gara-gara banyak yang nanyain (lagi) tentang perbedaan Pelaksana Tugas (Plt.) dengan Pelaksana Harian (Plh.) Nah, sebagai salah satu lulusan terganteng dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yang pas ngampus lebih sering nyanggong di rental PS daripada perpus, tergerak hati untuk meng-update tulisan sekaligus informasi yang ada.

Baca juga: Tips Mengurus Paspor

Pasca lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2014, terjadi perubahan yang cukup signifikan khususnya dalam dasar hukum penunjukan pelaksana tugas dan pelaksana harian. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, sebelum negara api menyerang, pelaksanaan penunjukan pelaksana tugas dan pelaksana harian hanya berdasar pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor  K.26-20/V.24-25/99 untuk pengaturan tentang Pelaksana Tugas dan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-3/V.5-10/99 terkait penunjukan Pelaksana Harian.  

Meski surat ini tidak termasuk dalam jenis Peraturan Perundang-undangan, namun karena sifatnya yang universal dan secara praktik dibutuhkan, maka surat ini secara tidak langsung diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan. Sayangnya surat tersebut mempunyai banyak kekurangan. Beberapa kelemahan dari surat ini adalah tidak spesifiknya jenis kewenangan yang menjadi dasar penunjukan pelaksana tugas atau pelaksanan harian dan sifatnya yang hanya terbatas di lingkup urusan kepegawaian.

Pasca lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, "jenis kelamin" Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian ini semakin jelas.

Wait..wait...sebelum lanjut, kawan-kawan sudah paham arti Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian belum?? Apa?? belum?? oke..oke..saya jelaskan dulu konsep Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian.

Pelaksana Tugas adalah Pejabat atau Pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. Berhalangan tetap disini dapat diartikan bahwa jabatan tersebut kosong. Biasanya Pelaksana Tugas ini dilaksanakan jika jabatan yang dimaksud lowong atau belum diisi oleh pejabat yang definitif.

Sedangkan Pelaksana Harian adalah pejabat atau pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan  tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara. Berhalangan sementara disini biasanya karena pejabat definitifnya izin, cuti, atau melaksanakan tugas di luar kantor dalam waktu tertentu. Oh ya..sampai sekarang belum ada aturan spesifik yang mengatur mengenai jumlah hari minimal agar suatu jabatan yang kosong bisa ditunjuk Pelaksana Harian. Namun secara tematik, pengaturannya sudah ada. Meski lagi-lagi melalui medium surat edaran. 

Menurut Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.20-3/99 tanggal 5 Februari 2016 (suratnya silahkan di-googling yach..), Dalam konteks kepegawaian, penunjukan Pelaksana Harian dapat dilaksanakan apabila pejabat definitif berhalangan untuk melaksanakan tugasnya selama 7 hari kerja berturut-turut. Tapii..seperti yang sudah dijelaskan diatas, karena jenisnya hanya surat edaran yang notabene dan bukan peraturan perundang-undangan, tentu keberlakuan surat edaran ini tidak mengikat ke pemangku kepentingan. Jadi semua kembali ke kebijakan masing-masing atasan langsung jabatan yang lowong tersebut.

Nah..sekarang sudah paham kan beda Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian?? Jika belum paham coba tulisan di atas dibaca lagi secara jauh secara perlahan dan jauuuhh lebih dalam dari sebelumnya.

Tadi kita sudah ngeh dengan perbedaannya. Tentu gak lengkap kalo kita gak ngerti juga persamaannya. Jadiii..persamaan antara Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian adalah:
  1. Dasar kewenangan penunjukan Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian adalah Mandat. Sudah tau Mandat kan?? Oke..oke... Mandat adalah suatu bentuk pelimpahan kewenangan dari suatu lembaga atau pejabat yang lebih tinggi kepada lembaga atau pejabat yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan gugat tetap berada pada pemberi mandat. Pengertian ini bisa dilihat di Pasal 1 angka 24 jo. Pasal 14 (8) UU Nomor 30 Tahun 2014. Kira-kira contohnya kayak gini. Kepala Biro X menunjuk Kepala Sub Bagian Y untuk menjadi Pelaksana Harian atau  Pelaksana Tugas jabatan Kepala Bagian Z. Nah..segala perbuatan Kepala Sub Bagian Y pada saat menjadi Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas Kepala Bagian Z menjadi Tanggung jawab Kepala Biro X.
  2. Penunjukan dilaksanakan oleh Pejabat yang menjadi atasan jabatan yang lowong tersebut (Pasal 34 (2) UU Nomor 30 Tahun 2014).
  3. Dapat mengambil kebijakan atau menetapkan keputusan yang berkaitan dengan tugas jabatan yang di-pelaksana harian-kan atau di-pelaksana tugas-kan (Pasal 34 (3) UU Nomor 30 Tahun 2014) kecuali hal-hal yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran (Pasal 14 (7) dan penjelasannya UU Nomor 30 Tahun 2014).
  4. Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian tidak perlu dilantik dan tidak diberi tunjangan jabatan yang di-pelaksana tugas atau di-pelaksana harian.
  5. Merujuk (rumah sakit kaleee..pake rujukan..) Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.20-3/99 tanggal 5 Februari 2016, khusus untuk penunjukan Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian di dunia Aparatur Sipil Negara, pejabat atau pegawai yang dapat ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas atau Pelaksana Harian adalah pejabat atau pegawai yang berposisi di bawah atau sejajar dengan jabatan yang di-pelaksana tugas-kan atau di-pelaksana harian-kan. Misal: Jabatan Kepala Bagian X lowong. Maka yang dapat menjadi Pelaksana Tugas atau Pelaksana Harian adalah Kepala Bagian lainnya yang sejajar atau Kepala Sub Bagian Y atau Pegawai yang dibawah posisi Kepala Bagian X.
  6. Udah itu aja.
Nah, udah jelas kan persamaan antara Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian. Satu hal yang paling penting dan tidak boleh ditinggalkan saat menjabat sebagai Pelaksana Tugas atau Pelaksana Harian adalah dalam melaksanakan kegiatan rutin atau menetapkan sesuatu yang tidak bersifat strategis, maka seluruh tindakan ataupun keputusannya harus  merepresentasikan adanya pelaksanaan mandat. Biasanya sih make istilah "atas nama (a.n)" atau"menjalankan mandat (m.m), atau "melaksanakan tugas (m.t)". Contohnya jika Kepala Bagian AKU lowong, maka Pelaksana Tugas atau Pelaksana Harian Kepala Bagian AKU harus menyebutkan a.n Kepala Bagian AKU, atau m.m Kepala Bagian AKU.

Hampir lupa, swasta juga bisa lho make skema kayak gini. Tinggal disesuaikan dengan khasanah budaya organisasi masing-masing aja..
 
Yah..kira-kira begitulah sedikit cerita tentang Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian. Semoga bermanfaat buat hadirin dan hadirot khususon kawan-kawan semua. Kalo mau diskusi, tulis di kolom komentar yaaa...

See yaa di tulisan selanjutnya yaa...



Cheers,

Kamis, 03 Januari 2013

Urgensi Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang



Selamat Tahun Baru 2013!!! Jadi gimana malam tahun barunya?? menyenangkankah??

Benar kata orang. Nulis itu lebih gampang memulai daripada mempertahankan semangatnya. Agak memalukan memang namun pada tahun 2012, produksi tulisan saya banyak agak sedikit menurun daripada tahun 2011. Pembelaan diri saya?? Tahun 2012 jauh lebih sibuk daripada tahun 2011. Ditambah kehadiran Play Station yang berhasil mengalihkan malam-malamku..

Tapi jelas fakta ini tidak bisa dibiarkan. Target saya pada tahun 2013 ini adalah menghasilkan 1 tulisan perbulan. 

Nah, kali ini saya akan membawakan tema penegakan hukum tata ruang wilayah di Indonesia. Tulisan ini saya ambil dari tulisan saya sendiri yang masuk prosiding Seminar yang diselenggarakan Ikatan Surveyor Indonesia tahun lalu di Jakarta.

Penataan Tata Ruang sendiri diatur melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Pasal 3 Undang-Undang tersebut, penataan ruang di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: 
  1. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;        
  2. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan 
  3. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

 
Secara praktek di negara-negara di dunia, dikenal ada 2 (dua) macam rencana kota. Pertama, dikenal dengan nama Master Plan. Jenis ini diterapkan di Amerika Serikat. Bentuk Master Plan ini biasanya berupa zonasi (pembagian ruang) yang kaku. Wilayah atau ruang yang sudah diplot untuk perumahan tidak boleh diubah menjadi perkantoran. Banyak ahli mengatakan bahwa Master Plan ini hanya cocok untuk kawasan yang baru (kota-kota baru). Kelemahan dari Master Plan adalah karena sifatnya yang kaku maka dalam jangka panjang tidak bisa mengakomodasikan dinamika aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta kurang realistik karena banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersamaan tanpa saling menganggu. Meskipun begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara masih memakai bentuk Master Plan ini untuk rencana kotanya dan tetap berhasil mengembangkan ekonominya. Karena kelemahan rencana kota berbentuk Master Plan inilah kemudian lahir bentuk alternatifnya yang dikenal dengan Structural Plan. Bentuk ini banyak dipakai di negara-negara Eropa. Dalam bentuk ini, rencana kota hanya memuat garis-garis besar kegiatan utama yang diperbolehkan di beberapa wilayah dalam rencana kota. Kegiatan lain diperbolehkan berlokasi di situ asalkan tidak bertentangan. Contohnya: suatu kawasan yang ditentukan untuk kawasan perumahan masih diperbolehkan adanya perkantoran dan kegiatan jasa tetapi tertutup untuk kegiatan industri. Hampir seluruh pemerintahan daerah di Indonesia menggunakan Structural Plan dalam menyusun rencana tata ruang wilayahnya.

Di lapangan, perencanaan tata ruang diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial. Ini menyebabkan kekacauan yang luar biasa dalam penataan ruang di suatu daerah. Hasilnya rencana tata ruang yang telah disahkan dapat berubah dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga terkadang menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Penataan Ruang yang ideal diselenggarakan tidak dengan pendekatan sektoral namun yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang.


Proses penegakan hukum atas pelanggaran penataan ruang merupakan item yang sangat penting dalam revitalisasi peta rencana tata ruang. Salah satu masalah yang seringkali ditemukan dalam proses pelaksanaan rencana tata ruang adalah dalam proses penegakan hukumnya. Banyak sekali pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu penataan ruang yang dibiarkan begitu saja. Akibat pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, permasalahan yang tadinya hanya dalam lingkup penataan ruang melebar menjadi masalah sosial. Akibatnya salah satu solusi yang diambil diantaranya adalah melegalkan pelanggaran tersebut dengan merubah rencana tata ruang yang telah ada.


Terkait dengan penegakan hukum di dalam penataan ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 membaginya menjadi empat rezim yaitu rezim administrasi, perdata, tata usaha negara, dan pidana. Penegakan hukum secara administratif di dalam penataan ruang secara tersurat terdapat di dalam ketentuan Pasal 62 juncto Pasal 63 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Secara teori hukum, tujuan sanksi administratif ini bukanlah memberikan nestapa namun untuk mengembalikannya ke keadaan semula. Ini dapat dilihat dengan jenis sanksi-sanksi yang diberikan yaitu
a.        peringatan tertulis;
b.        penghentian sementara kegiatan;
c.        penghentian sementara pelayanan umum;
d.        penutupan lokasi;
e.        pencabutan izin;
f.         pembatalan izin;
g.        pembongkaran bangunan;
h.        pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i.         denda administratif.

Dari jenis-jenis sanksi yang telah disebutkan diatas, bahwa objeknya bukanlah pelaku pelanggaran tapi ditujukan kepada kegiatan yang melanggar. Disini dapat dilihat bahwa sanksi administratif ini ditujukan untuk mengembalikan keaadaan yang salah menjadi kembali seperti semula dengan menitikberatkan pada kegiatannya dan konsistensi dengan izin yang diminta untuk kegiatan tersebut. Sanksi administratif ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.  Di dalam peraturan pemerintah tersebut diatur juga mengenai kriterua dan hukum acara pemberian sanksi administratif.

Rezim kedua dan ketiga terkait penegakan hukum penataan ruang adalah penegakan hukum secara perdata dan tata usaha negara . Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, ketentuan ini dapat dilihat di dalam Pasal 66 juncto Pasal 67. Undang-Undang ini hanya mengatur secara umum terkait dua rejim ini. Ini karena sifat rejimnya yang sifatnya lebih individual dan mengatur hubungan orang perorangan.

Rezim yang terakhir adalah rezim pidana. Undang-Undang Penataan Ruang ini memuat tujuh pasal yang mengatur tentang Sanksi Pidana dan satu pasal terkait proses penyidikannya. Ketentuan mengenai sanksi pidana dapat dilihat di dalam ketentuan Bab XI. Sedangkan pengaturan mengenai proses penyidikannya dapat dilihat di dalam ketentuan Bab X.  Perbuatan yang digolongkan perbuatan pidana untuk penataan ruang adalah antara lain :

  1. Tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; 
  2. Tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan berakiat timbulnya kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang; 
  3. Tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kematian orang;
  4. Memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruangnya;Memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruangnya dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang;
  5. Memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruangnya dan mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang;
  6. Memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruangnya dan mengakibatkan kematian orang;
  7. Tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang;
  8. Tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
  9. Pejabat Pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang


Jenis hukumannya cukup bervariasi dengan sistematika sanksi kumulatif penjara dan denda. Jika ditelaah secara menyeluruh, maka dapat dilihat lamanya hukuman penjara yang dapat dijatuhkan antara 1 tahun sampai dengan 15 tahun. Sedangkan besaran denda yang dijatuhkan paling banyak lima miliar rupiah. Bahkan khusus untuk pemberi izin, selain dipenjara dan denda, dia dapat dikenai pedana tambahan berupa pemberhentian secara tdak dengan hirmat dari jabatannya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pelanggaran pidana terhadap penataan ruang dapat dijatuhi hukuman yang cukup berat dan mampu menimbulkan efek taat kepada penataan ruang.

Apabila dilihat dari  jenis sanksi dan hukuman yang dijatuhkan seperti yang telah dijelaskan di atas, bahkan beberapa diantaranya dapat menggabungkan sanksi pidana dan sanksi administratif, seharusnya ini menimbulkan efek takut bagi para pelaku pelanggaran pidana terhadap penataan ruang. Namun di lapangan rupanya tetap banyak pelanggaran terhadap penataan ruang. Ini membuktikan ada yang salah dalam proses penegakan hukum penataan ruang di Indonesia. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa penyelesaian pelanggaran terhadap penataan ruang diselesaikan hanya dengan penyelesaian secara administratif dan tidak secara pidana. Karena sifatnya yang administratif, maka sanksi yang dijatuhkan relatif tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya dan efek taat bagi yang lain. Ini menyebabkan hukum penataan ruang gagal menjadi intrumen social control.              

Penegakan hukum penataan ruang sangat penting dalam proses penataan ruang. Proses ini dibutuhkan untuk menjaga agar penataan ruang yang telah direncanakan tetap diaplikasikan secara taat sehingga tujuan pembangunan tersebut tercapai. Dalam hal ekonomi, penegakan hukum terhadap penataan ruang akan memberikan efek positif tidak hanya bagi pertumbuhan ekonomi namun juga lingkungan di daerah tersebut. Dengan rencana tata ruang yang ideal, investor akan merasa aman untuk menanamkan modalnya tanpa harus menggganggu kepentingan yang lain. Efek positif lainnya adalah pengawasan terhadap pemberian izin menjadi terfokus sesuai dengan zonasi yang telah ditentukan.

KESIMPULAN :

Peta Rencana Tata Ruang mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penataan ruang. Melalui peta rencana tata ruanglah, kita dapat mengetahui secara komprehensif zonasi-zonasi apa saja yang sudah ditetapkan di suatu wilayah. Akibatnya, investor akan semakin mudah dalam menanamkan modalnya tanpa takut bermasalah di kemudian hari sehingga secara tidak langsung akan menumbuhkan perekonomian di wilayah tersebut. Sayangnya di beberapa daerah, perencanaan tata ruang ini tidak dilengkapi dengan pelaksanaan yang baik pula. Penerapan sanksi yang digunakan cenderung sangat ringan sehingga tidak menciptakan efek jera bagi para pelanggarnya. Dampak tidak langsungnya adalah perhatian masyarakat terhadap tata ruang wilayahnya menjadi rendah dan akibatnya pelanggaran terhadap tata ruang pun sering terjadi.

***THE END***

Berat ya tulisannya. Hehehe...sengaja tulisan ini saya buat untuk mengingatkan kita semua bahwa penataan ruang itu perlu. Bayangkan saja jika sekolah yang dipake buat belajar (ya iyaalllahhh...) berlokasi di sebelah pabrik yang tentu saja banyak menimbulkan polusi baik suara maupun asap. Atau bayangkan saja jika di sebelah rumah yang kita tempati dibangun pabrik atau industri tertentu.. Yah..cukup dibayangkan saja...